"Annisa Sindhunata Jaestri"

Minggu, 25 November 2012

Keindahan dan daya tarik budaya Jawa selalu melambaikan keterasingannya ketika budaya global merasuk dalam pola dan gaya hidup, dahulu budaya Jawa merupakan identitas bangsa, boleh dikatakan sebagai budaya yang mencerminkan bangsa ini. Semangat gotong royongnya, unggah ungguhnya, falsafahnya, dan setiap sudut yang mempunyai arti. Besar pengaruhnya, sekarang?
Saya geram dengan cara pengasingan budaya ini. Jawa dahulu adalah pusat, sekarang seakan-akan menjadi daerah pheri-pheri. 
Okey, saya bukan membahas tentang ini.

Judul di atas adalah sebuah nama yang saya persiapkan dan khusus diperuntukkan bakal calon anak perempuan saya kelak. Saya juga tidak akan berbicara mengenai apa arti dari nama di atas. 
We'll talk about interest. Sekilas tentang nama.

Saya teringat ketika belajar sejarah di Sekolah Dasar, ada satu nama yang sangat saya suka sampai sekarang.
Tribuana Tungga Dewi Jayawisnuwardhani. Beliau adalah Raja ketiga dalam masa pemerintahan kerajaan Majapahit (1328-1350) setelah Raden Wijaya dan Jayanegara. Dalam menjalankan masa pemerintahannya di Majapahit, beliau dibantu oleh suaminya yaitu Kertawardhana. Ketika pemerintahannyalah Gajah Mada yang sangat kita kenal itu diangkat menjadi Mahapatih. 

Bisa kita lihat pada daftar Geonologi Raja-raja Majapahit dibawah ini..
Semoga kalian bisa menelaahnya, jika kurang paham bisa di telisik di mbah google agar lebih mudah. 

Pernah terfikir untuk memakai nama itu untuk anak saya kelak, tapi saya bukan penjiplak, saya ingin sesuatu dari saya untuk saya dan keluarga.
Nama, gampang-gampang susah untuk membuatnya. Nama di atas, saya tidak membuat atau merencanakan dengan arti yang Wah, karena nama ini datang begitu saja, tanpa permisi, dan saya mempersilahkan dia datang untuk bersemayam dalam hati dan fikiran.
Nama, akan kita bawa hingga waktu yang tidak terhingga.
Nama, adalah salah satu bentuk representatif keluarga, pribadi, harapan, dan seterusnya bla..blaa...bla...

Karena saya cinta budaya Jawa, karena saya sayang dengan Jawa, karena saya tertarik dengan sejarah dan tidak ingin melupakannya, karena saya tertarik dengan Hindu-Jawa, saya suka kerajaan, karena saya ingin melestarikan mereka, karena saya Islam, dengan sangat berbangga hati saya persembahkan "Annisa Sindhunata Jaestri" kepada anak perempuan saya!! 

Nama untuk lelaki kecil belum datang. hehe

"sertakan jika ingin beristilah"

Sabtu, 17 November 2012
Beginilah selalu biasanya proses mereka. Mereka mulai kamu libatkan dengan aktivitas-aktivitasmu. Mereka lalu 'disekolahkan' kemana-mana. Mereka lalu keras kepala sepertimu, merasa benar sendiri sepertimu. Keras hati karena ditempa oleh keras kehidupan. Keras pikir karena merasa bahwa hidup yang kamu lakoni adalah yang paling keras. Mereka mulai sepertimu, kepala batu! Angkuh seangkuh-angkuhnya!

Lalu mereka mulai meninggalkan bangku kuliah sambil berkata, "Selamat tinggal neraka pendidikan! Aku akan mencari ilmu di tengah-tengah masyarakatku!"
Lalu mereka juga akan meninggalkan dan memutuskan ikatan keluarga sambil berkata, "Aku hanya kebetulan lahir dalam garba kalian, dari air mani kalian, tapi akulah si anak zaman!"

Bertahun-tahun mereka menempa diri mereka untuk semakin menjadi batu. Persis seperti kamu! Persis seperti orang-orang sebelummu! Mungkin ada benarnya hal seperti itu ditempuh. Mungkin dengan cara seperti itu mental-mental baja ditempa. Tapi kamu dan mereka mengidap penyakit paling akut yang tidak diragukan lagi tingkat bahayanya..
Pertama, kamu dan mereka merasa menjadi pahlawan, dan merasa paling benar!
Kedua, yang akan membuatmu sinting adalah karena kamu dan mereka tidak pernah tahu apa yang terjadi di tingkat puak-puakmu.
Kamu, siapa yang menggerakkan? Mengapa mereka menggerakkanmu? Kamu dan mereka mungkin akan bilang: diri kami sendiri, sebab kami orang merdeka!

Kamu tegang. Kamu marah. Kamu tidak bisa apa-apa. Kamu seperti yang lainnya, terjebak dalam kubangan aneh. Dalam sebuah lumpur peristiwa yang akan terus melucuti seluruh energimu. Kamu telah menghancurkan berhala lamamu, tapi meringkuk dan memberikan sujudmu pada berhala lain yang tidak kalah angkernya.

Beginilah yang kamu rasakan...
Tengkukmu terasa sakit. Kamu semakin jarang tidur. Matamu terasa sangat panas. Tulang belakangmu seperti mengencang. Urat-urat di wajahmu menegang. Telingamu terasa kaku. Lehermu tidak bisa dipakai untuk menoleh dengan sempurna.
Dan beginilah yang kamu rasakan...
Kamu mulai susah mencerna sesuatu. Kamu mulai kehilangan kemampuan membedakan warna-warna benda. Kamu mulai gampang lupa, apakah keran di kamar mandi sudah dimatikan? Apakah tombol lampu sudah dimatikan? Dimanakah kamu letakkan kunci kamarmu? Dimanakah kamu letakkan dompetmu? Dimanakah kamu letakkan catatan harianmu? Dimanakah kamu?

Kamu menyadari, sebuah badai besar akan menggulungmu dalam waktu dekat.
Tulang punggungmu semakin terasa sakit. Tidurmu semakin tidak tenteram. Tengkukmu semakin kencang menajam. Beberapa bagian tubuhmu mulai gerak sendiri. Tubuhmu mulai goyah. Kamu mulai tidak bisa membedakan mana fajar mana sore. Kamu mulai tidak bisa menangkap percakapan-percakapan dengan baik. Kamu mulai asing dengan berita-berita panjang. Dan ini yang kamu ingat terakhir kali sebelum kamu melengking dan ambruk setelah tujuh hari sama sekali tidak bisa tidur: apakah lampu di kamarmu sedang menyala atau padam?!
Tubuhmu melayang. Tubuhmu berat. Peristiwa-peristiwa datang sepotong-sepotong. Masa sekarang dan masa lalu. Semua terserpih. Kamu sering mendengar suara-suara. Suara-suara masa sekarang dan suara-suara masa lampau. Semua terpilin aneh.

"Janji Sehari"

Kamis, 15 November 2012


“Ta! Mana bukunya?! Dari kemaren aku tunggu di rumah nggak dateng-dateng, aku butuh neh!”
Duh! malah ketemu Dila, padahal dah jalan lewat pinggir mpe mau masuk got! Sial!
“Eh, kamu Ndut. Dari mana? Tumben kita ketemu disini.”
Karepmu, Ta! Udah, nggak usah ngeles. Mana bukunya? Dari kemaren aku dibelakang kamu waktu lewat sini. Kamu tuh sok-sok nggak tau! Dasar!”
“Heh? Iya tah? Pagi-pagi gini kamu dah bohong, perasaan dari kemaren aku nggak lihat kamu. Orang aku nunggu bus di sini dari bus belum dateng mpe busnya dateng kamu nggak ada. Waahh…acting neh.”
“Paan? Ngapain juga aku bohong. Yaudah, gini aja. Sekarang mana bukunya, kasihin ke aku, aku dah pegang bukunya. Selesai.” Dila mulai gerang dengan pernyataanku.
Weh,,duh,,arrgghh,,gmn neh?! Mana bukunya nggak tau kemana, sekarang dah telat ngantor, perut mules, duh…sial!
“Hm, gini deh Ndut. Tar balik gawe aku ke rumah kamu kasihin buku. Sekarang dah telat neh, bus juga dah keliatan batang idungnya. Sory, dari kemaren aku belum sempet ke ruumm...”
“Janji!!” Dila memotong kalimatku.
“Hah? Iya deh aku janji. Ok?” aku menjawabnya dengan nada kikuk.
“Ya sudah, enyah dari sini. Cepet! Sebelum aku berubah pikiran!”
“Iya sabar, tuh busnya lagi jalan. Kl sekarang kudu pergi, aku suruh masuk got?”
“Au! Terserah kamu mau masuk got, masuk penjara, masuk angin, terserah! Yang penting enyah!” Dila terlihat sangat marah dan menyuruhku cepat-cepat pergi dari hadapannya.
“Iya, sabar. Dah hampir nyampe tumpangannya. Ya sudah yah, see you.” bergegas aku melangkahkan kaki menjauh dari Dila menuju arah datangnya bus.
Haus darah kayaknya tu orang, galaknya parahhhhh!!! Aku lari kecil nyamperin bus biar cepat pergi.
20 menit perjalanan ke kantor tempatku bekerja, berdiri, tempat duduk penuh. Minimal aman dari Dila, buat hari ini aja tapi. Rencanaku makan bareng sama Luli balik ngantor gagal, harus ganti agenda ke toko buku dan musti beli tu buku trus kasihin Dila malam ini juga. Kalo nggak, lama-lama aku bisa gila tiap pagi. Mana bus penuh! Eungap! Hah!
Eh iyah, lupa. Namaku Arta, lulusan S1 yang sedikit lama dalam menyelesaikan masa belajarnya. Lulusan salah satu universitas terkemuka di tanah Jogja dan sekarang sedang berkarir di salah satu bank terkemuka di Jogja.


Sesampai di tempat kerja, masih ada perjuangan menanjak ke lantai empat, tanpa lift! Dengan nafas terengah-engah dan berjalan sedikit sempoyongan aku berjalan dengan sedikit terburu-buru ke ruang kerjaku. Masuk ke ruangan dan langsung menaruh tas di meja kerja (-nya temen sekantor).
“Mau kemana, Ta? Buru-buru amat!”
Renovasi perut! Bentar!” sambil lari menuju toilet.
“Ih..jorok! Lu kentut yah?!”
“Iyaaak…maap!” dari kejauhan aku menjawab, sambil berlari kecil.
Sesaat waktu di dalam toilet terdengar suara remang-remang menyalak dari luar. “Ada apa ribut-ribut?! Pagi-pagi dah pada berisik!”
Setelah puas dengan urusan perut aku langsung menuju ruang kerja dan mengambil tas,
“Tadi siapa yang teriak-teriak, Ver? Berisik amat!” tanyaku pelan.
“Bos besar ngamuk!” Verta menjawabnya dengan berbisik.
“Ah, srius lu?! Trus lu bilang apa?” bisikku.
“Kaga ada, cuma bilang tadi ada orang minta sumbangan tapi gue usir.”
“Wah, parah lu. Ma bos besar brani bo’ong lu.”
“Becanda gue juga.” Verta menanggapi dengan tersenyum.
“Tumben lu manis.” aku kembali menanggapi senyumnya dan kami berdua tertawa.
Pergi dulu, Ver. Ntar balik bareng, gue nebeng. Tapi anterin ke toko buku dulu, gimana?”
“Iye, gampang itu mah.” Verta meng-iyakan ajakanku. “Lu, mau kemana?!” Tanyanya cepat sambil menengok ke arahku.  
“Ketemu sama marketing hotel buat booking ruangan, ikut?”
“Oh, iya dah. Sukses ya.” Jawab Verta dengan ringan.
Aku bergegas beranjak dari ruang kerja menuju lantai dasar, lewat tangga pastinya. Dan percayalah, karena ini sangat melelahkan.
Sesampai di bawah aku menuju garasi kendaraan kerja, “Pagi, Pak Lindung.” Sapaku sembari tetap melangkah berjalan menuju ke arahnya. “Pagi, Mas Arta, hendak kemana pagi-pagi sudah terburu-buru?” Tanyanya. Terlihat Pak lindung baru saja keluar dari mobil dan hendak menutup pintunya.
“Hmm, Pak Lindung hari ini sibuk? Boleh loh jika berkenan mengantar saya ke Horison.” Tanpa banyak kata aku meminta dengan nada bercanda.
“Sepertinya saya akan sangat disibukkan oleh Mas Arta hari ini.” Jawabnya singkat.
Tanpa banyak kata lagi aku bergegas masuk ke dalam mobil dan segera berangkat menuju Horison. Pak Lindung adalah salah satu sopir kantor, sebenarnya ada dua orang tapi kebetulan hanya Pak Lindung yang kutemui, sopir satunya entah kemana.
Matahari mulai terik, kemampuan adaptasi mata mulai berkurang ketika melangkah keluar dari mobil menuju pintu depan hotel. Janji bertemu tidak melewati batas waktu yang telah kami tentukan dan sebuah senyum sapa hangat menyapaku disana.
Setelah selesai booking ruangan dan menemui pihak marketing hotel, kami pulang menuju kantor, sesampainya di kantor aku kembali menapakki anak tangga satu persatu, langkah demi langkah hingga anak tangga terakhir. Agenda kerjaku hari ini hanya ini saja, selebihnya mempersiapkan segala sesuatunya untuk agenda esok hari. Ketika memasuki ruang kerja, terlihat Verta masih sibuk dengan pekerjaannya. Aku hanya melintas di depannya menuju meja kerjaku yang hanya berjarak dua meja di sebelah kanannya.
Diwaktu istirahat siang, saat tidak ada lagi yang perlu dikerjakan adalah waktu yang sangat membosankan. 
Mentok-mentoknya ngobrol sama Lia. Satu tahun dibagian HRD sama sekali belum ada perubahan temenan ma dia, yang dibahas Yuni Sara cerai-lah, Pasha ke-gep berduaan ma cewe barunya-lah. Ga pernah ngobrol yang lebih ada greget apa gitu. Kalo nggak sama Lia ya Ngobrol ma si Tongkin, pasti ngobrolin bola, selalu Chelsea yang diobrolin.
Kadang-kadang, diwaktu kosong aku berinisiatif maen ke ruang kerja anak-anak bagian laen. Kadang ke ruangan bos besar ngobrol-ngobrol, tapi kalo beliau memanggil duluan. Tapi kebanyakan waktu kosong tetep stanby di ruang HRD baca koran atau majalah dan menyusun laporan panggilan sana sini.
Sore datang, saatnya pulang. Packing peralatan dan lanjut nyamperin Verta buat nagih janji dan lanjut kerencana hari ini.
“Dah beres-beres belum?” tanyaku kepada Verta.
“Udah, tapi neh lagi nungguin Toro. Ada kerjaan yang mau gue kasih ke dia.”
“Ada klient baru tah?”
“Iya, baru tadi siang masuk berkasnya. Besok harus dah beres, jadi gue kasih Toro sekarang aja buat kerjaan rumah.”
“Nah, tuh si Tororojing.” aku melengok ke arah toro dengan tersenyum.
Verta bergegas beranjak dari tempat duduknya dan menoleh ke arah Toro.
”Gue tunggu di depan, Ver. Jangan lama-lama yah.”
“Ok.” Verta menjawab singkat.
Aku berjalan ke arah ruang depan dan duduk disofa tunggu. Aku mengambil seberkas kertas dari dalam tasku, sebuah catatan harian, dan mulai membacanya.
Banyak juga ternyata agenda minggu depan, reserve hotel, koordinasi sama bagian recruitment, deadline diklat calon karyawan baru, waahh,,bisa-bisa lembur lagi.
“Ayo, Ta.” dari arah belakang Verta melontarkan ajakan.
“Bentar amat?”
“Iya, cuma ngasih berkas aja. Jelasin berkasnya besok aja sekalian briefing sama bos besar.” Verta berjalan kearahku dan akhirnya duduk di sebelahku.
“Kemana dulu neh? Langsung ke toko buku atau makan dulu?” tanyaku.
“Ke toko buku dulu aja,Ta. Gue juga belum terlalu laper.” jawab Verta.
Kami beranjak dari sofa, berjalan ke luar menuju tempat parkir.
Sesampai di toko buku, aku langsung mencari dan mencari buku buat Dila.

“Ver, bantu cari bukunya. Judulnya Rekayasa Sosial.”
“Karangan siapa, Ta?”
“Duh, lupa gue. Pokoknya buku nggak tebel dan nggak tipis juga.”
“Hah? Gue dah pasang muka serius buat nyari buku, lu nya kasih petunjuk kaga bener, monyong lu!”
“Udah..,cari aja. Mirip-mirip buku saku.”
Kami berdua mulai mencari..eh Verta aja yang nyari, aku melakukan pengawasan lingkungan. hehe
“Gue kesana dulu, ke komputer pencari. Sapa tau dapat judul bukunya. Lu disini aja, Ver.”
“Yaudah, buruan.” Verta menjawab sambil mencari buku dengan muka serius.
Setelah dicari ternyata aku nggak nemuin tuh buku. Ada sih, tapi kosong stock-nya. Aku langsung menuju ke tempat Verta, dia lagi berdiri sambil baca buku ditangannya.
“Gimana, Ta? Dapet?” Verta bertanya dengan mata masih tertuju pada buku yang sedang dibacanya.
“Ada, tapi stock-nya abis.” aku menjawab dengan muka muram.
“Lu dapet ga?” aku balas bertanya.
“Belum.” Verta menjawab dengan santainya.
Aku mulai panik dengan jawaban Verta. Langsung mengambil buku-buku, mencari dengan sedikit terburu-buru.
“Kenapa, Ta? Panik gitu.”
Akhirnya aku jelasin kenapa aku butuh banget tu buku.
Masih sambil mencari buku Verta mengomentari ceritaku.
“Yah, salah lu juga, Ta. Kalo dah beres pinjem buku mah dibalikin. Jangan kelamaan buat alas tidur.”
“Iye, gue ngarti. Sekarang yang paling penting harus dapet tu buku.”
“Ini bukan, Ta?”
“Mana..mana..mana..??”
“Rekayasa Sosial karya Jalaludin Rakhmat..,iya bukan?” sambil menunjukan bukunya kepadaku.
“Gue tau isinya, tapi ga tau pengarangnya, sampulnya lupa-lupa ingat. Ini bukunya juga masih diplastik.”
“Udah, buka aja. Lu belaga nyari buku di bagian bawah, gue tutupin pake badan gue. Ntar kalo ada penjaganya dateng gue kasih kode, Ta.”
“Iye, bentar. Ngomongnya jangan keras-keras, Ver! Parah lu! Da kamera sisi tivi pa kaga? Sama aja gue jongkok tapi kamera ngadepnya ke muka gue!”
“Tenang, dah gue observasi. Area clear! Buruan, Ta!”
Setelah aku buka dan sekilas aku baca, isinya ga jauh beda sama buku yang dulu aku pinjam dari Dila.
“Hm, iya bukan yah. Yaudah, ini aja juga ga apa. Yang penting ada bukunya, ntar kalo salah.. banyak alasan yang bisa dipake.”
“Dasar!” Verta menanggapi omonganku dan kami berdua tertawa.
Akhirnya aku ambil buku itu, bayar ke kasir, jalan ke tempat parkir, dan lanjut makan. Kami menuju tempat makan yang nggak jauh dari toko buku yang baru saja kami datangi.

Di meja makan, Verta mulai mempertanyakan tentang kisah asmaraku. Dia mulai mengulas tentang hubunganku yang dulu sempat aku ceritakan.
“Gimana hubungan lu ma dia?”
“Hm?” aku dengan muka kaget, masih dengan makanan di mulutku dan kedua tangan sibuk dengan garpu dan sendok. “Dia yang mana?” tambahku.
“Yang dulu pernah lu certain ke gue, lupa?” Verta menegaskan.
“Oh..,yang itu. Dah nggak.” jawabku singkat.
“Kenapa emang? Bukannya dulu mati-matian ngejar, koq dilepasin?” muka penasaran Verta yang khas mulai menunjukan antusiasmenya.
“Buruan makannya, keburu tutup warungnya, tuh pelayannya dah ngambilin piring-piring di meja mau dicuci.” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jawab dulu, Ta!” Verta terlihat mulai menuntut jawaban atas pertanyaannya.
“Yang udah ya udah, ga perlu dibahas lagi, Ver. Males juga gue bahas itu lagi.”
Terlihat dari sudut mataku muka Verta mulai beringasan, sepertinya dia mulai menjadi seorang penyidik yang sedang mengintrogasi tersangka. Aku sangat hafal dengan raut muka tipe ini, suasana mulai sunyi dan sebentar lagi pasti akan terjadi sesuatu yang biasa terjadi saat Verta mulai menikmati raut muka itu.
“Ta! Lu harr…”
“Oke..Oke..! Gue certain, tenang dulu.” dengan cepat aku memotong, hampir aja terjadi konflik antar etnis.
”Gue telen dulu makanan yang ada di mulut.” tambahku.
Setelah suasana menjadi lebih hangat aku mulai menceritakan.
”Jadi gini, Ver. Masalah pokoknya tuh ada dijalan pikiran yang saling beda. Antara gue ma dia nggak ada yang bisa saling ngerti jalan pikiran masing-masing. Gue baru sadar waktu dah jalan 6 bulan. Gue nganggep jalan pikiran dia tuh kekanak-kanakan, dalam artian dia nggak pernah mau menerima hal-hal baru. Dia bersikukuh mempertahankan pendapatnya yang dia anggap adalah kebenaran yang hakiki. Jujur gue nggak bisa terima. Nggak ada keseimbangan antara gue ma dia kalo harus tetep dipaksain. Sedangkan dia berfikir jalan fikiran gue terlalu absurb buat dia. Kalo kita jalin hubungan serius ma orang, gue rasa harus bisa saling ngerti dan menerima. Saat kita berfikir bahwa hubungan yang kita jalin adalah serius berarti kita mulai untuk konsekuen dengan hubungannya, ngejaga hubungan biar tetep baik, dan lain-lain. Dilihat dari sifat manusia yang nggak pernah puas, dalam hidup seorang manusia selalu menuntut dan menuntut. Nah, gue ma dia tuh saling nuntut. Jadinya ga ketemu. Begitu ceritanya…”
“Gue lihat kalian sama-sama keras dan teguh. Andainya kalian sejalan pasti bisa jadi pasangan terbaik abad 21!” Verta menjawabnya dengan ringan dan kami berdua tertawa.
“Lu kira gue sehebat itu?”
“Gue sih liatnya gitu.”
“Masa sih?” Tanyaku heran. “Dilihat dari mananya, Ver?” tambahku.
“Ya ada lah, gue kan dah kenal lu lumayan lama.”
Aku terdiam sejenak mendengarnya. Jawaban Verta bikin aku penasaran dan aku mulai ngorek-ngorek apa yang sebenernya ada difikiran Verta.
“Gue tau lah kapasitas diri gue sendiri, tapi ga sehebat itu kali, Ver.” aku coba menanggapi dengan muka datar.
“Dilihat dari kerjaan kantorlah, lu yang selalu berusaha tepat waktu ngantor, semua kerjaan beres, banyaklah, Ta.”
“Ver, buruan dah hampir jam 9 malem. Anterin gue ke rumah Dila sekalian gmn?” tanyaku terburu-buru.
“Ayok, gue juga dah beres makannya.”
Akhirnya kami lanjutkan perjalanan menuju rumah Dila. Saat diperjalanan Verta berusaha mempertanyakan kembali obrolan yang kepotong, tapi aku enggan menjawab dan mengalihkan pertanyaan-pertanyaan Verta dengan candaan ringan.
Sesampai di rumah Dila, Verta tetap di mobil dan aku bergegas menuju pintu masuk rumah Dila. Sesaat ketika mau mencet bell Dila buka pintu rumahnya.
                “Eh kamu, Ta. Mana bukunya dah kamu bawa, kan?”
                “Udah, tapi bukan buku yang dulu aku pinjem. Judulnya sama tapi pengarangnya beda. Isinya sama koq.” sambil menunjukkan bukunya, aku berharap Dila ga ngamuk.
Dila terdiam sesaat sambil sekilas membaca buku dan membolak-balik lembar buku.
                “Yaudah, ini juga nggak apa.” Dila menerima buku yang aku bawa.
Ku pikir Dila bakal ngamuk liat buku yang aku bawa, tapi sukurlah diterima bukunya dengan senyum. Lega!
                “Aku langsung pulang yah. Dah ditunggu temen di luar.” tambahku singkat biar langsung cabut.
                “Nggak mau mampir dulu?”  tambahnya singkat.
                “Laen waktu aku mampir, ini juga baru pulang dari kantor.”
                “Yasudah, makasih ya, Ta.”
                “Iya sama-sama.”  jawabku sambil tersenyum.
                “Ta!” panggil Dila sesaat setelah aku beranjak dari rumahnya.
                “Ya!” jawabku kaget sambil menoleh ke arah Dila. “Kenapa?” tambahku singkat.
                “Enggak apa, maaf yah tadi pagi aku sudah marah-marah.” sambutnya.
                “Iya, nggak apa. Sama-sama, aku juga minta maaf telat balikin bukunya.” jawabku sambil tersenyum.
Aku bergegas berjalan menuju mobil Verta dan langsung lanjut pulang.
                “Gimana, Ta? Tadi kelihatannya baek-baek aja.” tanya Verta.
                “Iya, syukur banget tadi. Untung kaga ngamuk.” jawabku.
Sesampai di rumah, Verta mampir sejenak sekedar ngobrol-ngobrol ringan. Tak lama, Verta pamit pulang.
Nah, sekarang waktunya mandi dan istirahat. “Sepertinya ada yang kurang, apa yah?” tanyaku dalam hati. “Astaga!! Luli … !!! aku lupa bilang janjian makan malam batal!!!” bergegas aku mencari telefon genggamku dan menghubungi Luli.
            “Halo?”
“Ya, halo. Luli, ini aku Arta. Maaf aku lupa kasih kabar, tadi ada perlu mendadak sama Verta temen kerjaku dikantor.” aku coba jelasin alasanku dan meminta maaf.
“Iya, nggak apa-apa. Aku tahu ini kamu, Ta. Nomor kamu sudah aku simpan kok. Kamu kemarin bilang kalau jadi makan malam bareng, kamu hubungin aku kan, tadi kamu nggak hubungin aku jadi aku anggap makan malamnya batal.” jawab Luli tenang.
“Begitu yah, sukurlah. Yasudah, aku mau rehat dulu. Makasih sudah mau ngertiin “ jawabku lega mendengar jawaban Luli.
“Ok, selamat beristirahat ya.”
“Ok, see you.”
Telfon aku tutup dan aku merasa sangat lega hari ini semua masalah terselesaikan. Luli adalah perempuan yang nggak pernah menuntut apapun, meski dia punya permintaan, aku tahu apa permintaan Luli dan aku akan berusaha memenuhi permintaannya.
Selesai mandi, aku mulai membuka kembali buku catatan agenda untuk hari esok. Masih banyak pekerjaan menanti, apa lagi tadi ada klient baru.
Sesaat sebelum mataku terlelap, sekilas aku masih penasaran sama omongan Verta. Tapi biarlah, suatu saat aku pasti dapat jawabannya. Huuuaaaaammm…

"paradigma terbatas"

Rabu, 14 November 2012


Gambar ini aku ambil dari satu buku inspiratif yang lingkup bahasannya masuk pada bagaimana menemukan passion dalam hidup. Fokus pembacaannya memang tentang karir sebenernya, tapi justru melanglangbuana kehal-hal lain. Dari gambar yang bisa kita liat sangat jelas apa yang terbersit dikepala. Ya betul, completely relationship. Basi sih, tapi tetep saja masih relevan sampai sekarang. Bosan sih, tapi masih saja inspiratif. 
Dari segi umur manapun pasti ada gitu ceritanya, mpe kakek nenek juga masiiiiihhhhhhhh. Sampai ada gambaran seorang kakek yang selalu datang ke makam istrinya setiap satu bulan sekali. Kebayang nggak?
Pernah menyimak berita duka istri BJ Habibi? Disana kita bisa melihat dan merasakan betapa besar cinta seorang BJ Habibi kepada istrinya. Betapa besar rasa kehilangan, rasa sedihnya. Kalau yang ini aku juga susah ngebayanginnya. Ingin membahasakannya saja sulit. 

Memory, ingatan, sesuatu hal yang pernah kita lewati jalani dan rasa. Tidak harus dalam ranah pergaulan ataupun hubungan interpersonal. Dewasa ini apakah pernah mendapati istilah asing atau hal yang di jelaskan secara teorikal? Yang kita rasa kita sudah melakukannya dari dahulu hingga sekarang? Bukan dejavu atau ingatan kejadian yang terulang. 

Analogi berlian, kemampuan manusia melihat hal-hal yang kebanyakan orang tidak lihat. Mengarah keberbagai segi kehidupan, bukan hal mistis. Teori ini mengajak para manusia yang merasa memiliki kemampuan berfikir dan keep your mind open. 

Jika disambungkan kepada hal nyata akan menjadi sangat berbeda, karena isi kepala manusia satu sama lain berbeda. Intervensi dan kontaminasi yang ada juga pasti berbeda. Kebutuhan dan arah hidup mereka juga berbeda. Tidak mengharuskan untuk ini dan untuk itu, sepahamku setiap orang sudah memiliki modal semenjak dia lahir. Proses hidup ini salah satunya untuk menyadarkan bahwa mereka memiliki kemampuan, sadar dong oiy!! Kamu punya kemampuan! Begitulah kurang lebih jika dibikin simpelnya. 

Nah,,yang simpel ini yang mana??? Tidak ada yang perlu diribetkan. The way to Allah: The way to get success.

Ketika memori mempunyai efek menghancurkan, lebih dan lebih baik lagi mari perbaiki dan bangun cerita baru yang akan membangun dan berefek baik ketika menjadi sebuah memori.

"hey kamu, perempuanku"

Senin, 12 November 2012
Terimakasih sudah berkunjung, 
disini bukan suatu suguhan indah yang dapat kamu nikmati disetiap hati. Bukan pula suatu bahan untuk mengomentari sisi baik maupun buruk. 
Perlahan, sebenarnya sudah aku selipkan pesan dan kabar perkembanganku, entah kamu paham atau tidak. Namun, dengan banyaknya pertanyaan yang telah dan masih kamu ajukan menandakan ketidakpahamanmu. 

Sedikit tahu itu kurang menguntungkan, tahu banyak justru akan menjatuhkan.
Semenjak menyudahi penantian, banyak aku temui kejadian yang hampir mirip. Aku pahami itu, coba menelaah lebih dalam, apakah alasan-alasan yang muncul dari mereka bercerita tentang alasan dan keluh kesah mereka ada kesamaan atau tidak. 
Kurang lebih ada kesamaan. Aku tidak menyalahkan atau bahkan menghujat kenapa kamu lakukan kesalahan yang sama. Menyadari bahwa dalam hidup tidak semata mengejar apa yang kita inginkan, tapi lebih bagaimana mengerti keadaan lingkungan, bagaimana cara menyikapinya. Sempat aku di buatnya buta, sempat aku dibuatnya gila, bahkan sadis, semuanya itu untuk memelihara satu prinsip yang aku jaga. Efeknya kurang bagus, buatku, buat lingkunganku. 

Banyak kawan baru yang aku temui, aku mulai membuka dan mencoba mengukur seberapa luas dunia ini, cukup luas, sampai-sampai otakku tidak sampai untuk menyentuh dimana ujungnya. 

Aku bukan Aku yang dulu, Aku yang sekarang bukan lagi Aku yang dulu kamu kenal, kamu pahami luar dalam. Bukan.
Karena kehidupanku yang sekarang adalah hal yang luar biasa, hal yang banyak membuka wawasanku. Mereka menunjukkan betapa bebas hidup, betapa indah dan bahagia dalam hidup. Jangan hanya menunggu suatu hal yang tak pasti, mari melangkah, mari sambut masa depan. Itu yang mereka berikan, dengan cerita mereka, dengan jalan fikiran mereka yang beraneka.

Langkah-langkah selanjutnya akan lebih seru, akan lebih berwarna. Aku punya pola kehidupan baru, kehidupan dengan kepastian dan kepercayaan. Penuh tawa suka duka senyum sapa dan penghargaan.

Pesan terakhirku sudah aku sampaikan, semoga kamu bisa mengerti dan memahami apa maksudku.
Aku tidak ingin terjebak dimasa yang sudah lalu, biarkan itu semua jadi cerita untuk anak cucu kita kelak. Mereka pasti akan bertanya, dulu waktu muda papa dan mama seru ya? Ini foto siapa pa? Dulu mama pasti cantik ya pa, sampai-sampai papa bersedia menikah sama mama. Mama sama mantan papa dulu cantikkan siapa? 

Akan banyak yang bisa kita ceritakan ke mereka, cerita kita 'bukan hanya' kita yang mengambil hikmahnya, karena cerita kita juga menjadi hak mereka sebagai bahan belajar, belajar bagaimana harus mendengar, belajar bagaimana harus memahami, belajar bagaimana harus bersikap, bagaimana harus menghargai. Aku sama sekali tidak merasa merugi ataupun menyesal menjalani kehidupan dulu.
Aku justru selalu berucap syukur, dan banyak terimakasih. Hal ini sudah membuatku semakin dewasa menyikapi segala sudut kehidupanku.


aku akan selalu ada disana

"camdig boxes"

Minggu, 11 November 2012

"sebatang kapur bukan sirih"

Rabu, 07 November 2012
Nah, sudah merasa bahwa memang pada realita "terbatasi". We have a lot of ideas and creativities and much more more more more and more! sebenernya sudah merasa ketidakbebasan semenjak masa pengetahuan terbatas dibangku sekolah. Bisa dikatakan bahwasannya ini suatu "keterjebakan pranata sosial". Suatu doktrinasi tentang sudut pandang dalam memandang ketepatan hidup.
FUCK THE SYSTEM!

Sekarang suatu kebebasan terbatas pada sudut pandang sosial, how we see and understand norms. Mulai dari keberadaan pola fikir dalam lingkungan keluarga, kawan, dan latar pendidikan. Have you think about "what should we do now?",,
Mimpi, ya saya memilikinya. More than this!
I have a lot of ideas in my head, in my hand.
Kadang its look like always in my hand, always.

Saya sangat haus ilmu, teramat sangat, I want realise every single ideas. And FUCK! Perbatasan sosial ANJING!
Berfikir bodoh kadang punya keuntungan tersendiri, tidak harus banyak pertimbangan, Just do what i wanna do. Its simple.
How we do?
Yes, selayaknya manusia yang berfikir, we have to know how we can realise it.
Semua ada jalan, we have to find it. I maen it!
And,,,,,what on my head now?

Thiiiiiiissssssss......

And,,,,thissssss.....


see this? where is this?
Paris.
Yes, i'll go there soon!