"surga kecilku di Jakarta"

Selasa, 07 September 2010
Pegal, hanya itu yang kurasakan saat ini. Setelah seharian aku duduk di dalam kereta dari Jogja menuju Jakarta untuk menemui Tante Diana.
Diperjalanan, sebelum sampai aku menghubungi temanku yang ada disana.
Bunben, namanya.
"Halo, bos."
"oiy, elu. Ada apa bos?" Dia menjawab dengan nada kaget.
"Aku sekarang dalam perjalanan ke Jakarta, 2 jam lagi aku sampai. Lagi sibuk order?"
"Hmm..."
"Oiy..!?" Aku kembali menegurnya yang seakan bengong.
"Yah?" Jawabnya singkat.
"Gimana, kosong ga?"
"Gampang bos, bisa diatur."
"Makasih, bos."
Kami saling memanggil bos, memang itu panggilan akrab kami.
Bunben adalah mahasiswa teknik disalah satu Universitas di Jakarta, dia tidak melanjutkan studinya lantaran orang tuanya meninggal. Dia keluar saat dalam penggarapan skripsi, semester akhirlah...
Tapi saat aku bertanya kenapa tidak dilanjutkan saja, dia pasti menjawab 'hidup adalah pilihan, bos.'
Saat ini dia bekerja sebagai supir taksi, aku mengenalnya saat ke Jakarta besama Tante Diana. Langganan taksi Tante Diana jika pulang Jakarta. Orangnya asyik diajak ngobrol, ramah, dan baik. Sekarang dia punya 2 orang anak...
Tanpa aku bilang mau kemana dia sudah tahu,
"Gmn bos, seperti biasa?" Tiba-tiba dia berhenti disebuah toko.
"Oke, tunggu sebentar." Aku keluar taksi dan berjalan menuju toko itu untuk membeli bir dan beberapa makanan kecil dan rokok. Aku bejalan kembali menuju taksi dan melanjutkan perjalanan ke rumah Tante Diana. Aku sengaja tidak memberi tahu ke Tante Diana kalau aku akan ke Jakarta hari ini.

Turun di depan rumah Tante Diana, masih sama. Dengan suasana sepi, bersama teriknya mentari siang ini. Berdiri sambil membenarkan posisi ranselku di gang yang kanan kirinya tertata rapih rumah-rumah. Melengok-lengok memperhatikan situasi di kanan kiri, hanya terlihat tukang bakso keliling yang menjajakan dagangannya dan mobil yang terparkir di depan rumah Tante Diana. Sepi...

Aku bergegas masuk, pintu tidak terkunci dan aku melihat di dalam Tante Diana sedang tertidur ditemani televisi yang masih menyala.
"Permisi..." Dengan suara pelan.
"Tante..." Dia tidak terbangun.
Aku langsung ke dapur mengambil gelas dan menuju ke belakang rumah, aku duduk di kursi kecil dengan meja bulat di tengahnya. Rumah ini membuatku sangat tenang, kebun asri di belakang rumah yang sengaja di bangun oleh Tante Diana. Dia adalah fans berat bunga mawar, mulai dari mawar lokal hingga mawar dari luar negeri ada disini. Lengkap deh.., dengan bermacam-macam warna dan suara gemercik kolam kecil memanjang di tengah-tengah kebunnya. Tiap sudut terbalut tembok tinggi berhiaskan tanaman rambat. Semua tertata rapi.

Terduduk tenang sambil menikmati minuman yang aku beli di toko tadi. Waktu menunjukan hampir jam 3 sore, badanku masih lemas karena cape'.
"Kamu." Suara lirih sambil menahan serak karna habis tidur dengan muka berantakan.
"Eh, tante dah bangun..." Dengan suara terbata-bata aku menjawab.
"Kenapa tidak kasih kabar kalau kamu mau kesini?, kan bisa dijemput sama Pak Kus" Pak Kus adalah orang yang dipercaya Tante Diana untuk mengurus kebunnya.
"Maaf Tante.." Aku menjawab sambil tersenyum.
"Kamu kena sydrome asmara lagi?" Bernada mengejek.
hahahaha...,aku tertawa sambil menawarkan minuman kepadanya. Dia menggeleng dan kembali masuk.
Sesaat setelah pandangan mataku kembali ke arah kebun dia kembali dengan membawa sebuah gelas berisi kotak-kotak kecil es.
"Loh.., katanya tidak mau."
"Males ah kalau pake bekas kamu." Kita berdua tertawa..

Setelah Tante Diana duduk dan kami menikmati minuman bersama, aku langsung menceritakan semuanya. Dia adalah pendengar yang sangat baik buatku, aku nyaman bercerita semua dengannya. Lepas dan tidak ada beban.

"Yaudah, sekarang kamu mandi dulu sana. Terus rehat, nanti malam temani aku."
"Kemana?"
"Nanti saja aku ceritakan. Udah mandi buruan, terus rehat."

Yah, dia memang tidak pernah menawariku makan di rumahnya. Dan aku tahu nanti malam aku akan diajak kemana.

0 komentar:

Posting Komentar