"penyesalan yang dibenarkan"

Sabtu, 20 Februari 2010
Duduk tanpa berfikir, di teras belakang rumah dengan segelas teh hangat ditangan menikmati sejuknya udara sore hari. Langit terlihat kemerahan, dengan awan putih yang berlomba seakan berada di pacuan kuda. Bulan mulai menyingsing dengan warna pucat, seperti sabit yang mencari batang-batang rumput yang akan ditebasnya dan bergerak perlahan menaiki singgasana diantara bintang.

Membayangkan apa yang telah terjadi padaku dihari-hari kemarin. Sangat sulit untuk jujur kepada kamu, melihat keadaan yang memang tidak berpihak padaku. Keputusan yang aku ambil bukan yang aku inginkan.
Cuaca hari ini cerah, angin berhembus pelan mengusap tubuhku yang sedang terduduk. Suara televisi menggema dari dalam rumah, dan teriakan anak-anak kecil yang tengah bercanda tawa di depannya.

Terdengar suara mama memanggilku dari arah dapur, aku kurang begitu jelas dengan panggilannya dan aku bergegas berdiri dari tempat dudukku berjalan menuju dapur.
"Ada apa, mah?" bersandar di pintu dapur masih memegang segelas teh hangat.
Mama melirikku dengan tangan yang masih sibuk memegang pisau dan sayuran.
"Kamu ada janji nanti malam?"
"Ga ada, mah. Kenapa?"
"Bener ga ada?" mama bertanya sambil tersenyum.
Aneh, ga biasanya mama melontarkan penegasan.
"Iyah ga ada. Memangnya ada apa, mah?" act mimik berfikir seakan-akan ada janji yang aku lupa malam ini.
"Begini.., mama sama papa mau pergi ke rumah Tante Elen. Kamu mau ikut apa ga?"
"Oh.., kirain ada apa. Ga tahu mau ikut apa ga, lagian aku juga sedang malas untuk keluar rumah. Ga wajib ikut kan, mah?"
"Ya sudah, nanti kalau kamu berubah fikiran bilang sama mama."
"Oke, mah. Aku ke belakang dulu." Aku berbalik badan dan melangkah menuju ke tempat dudukku semula.

zzzzztt...masih belum bisa melupakan semuanya. Butuh berapa lama untuk ini?
Aku belum tahu keputusan yang aku buat benar atau tidak.
Secara obyektif aku pikir keputusanku benar, sedangkan dari sudut pandangku semua keputusan yang aku ambil adalah suatu pemaksaan buatku. Aku dipaksa lupa, aku dipaksa untuk tidak memikirkan kamu, aku dipaksa untuk pasrah pada keadaan, aku dipaksa untuk melepas kamu, dan aku belum bisa untuk semua itu.

Duduk disini hanya berkutat pada keputusan yang sudah aku ambil. Ingin rasanya untuk tidak memutuskan ini !!
Mungkin ini yang disebut 'penyesalan yang dibenarkan'. Benar untuk disesali, dan sesal untuk dibenarkan.

Teh belum juga menyentuh bibirku, hanya aku pegang dan kubiarkan dia dihembus angin sore. Masih terduduk sendiri dikursi teras belakang rumah.
Aku harus bagaimana, mau ceburin diri ke laut tapi lautnya jauh dari rumahku. Mau makan cabe yang banyak, tapi pedes. Bunuh diri, dosa. Mau cerita, hasilnya sama saja. 
"Mah?"
"Iyaa, kenapa?"
"Aku ikut ke rumah Tante Ellen."
"Naahh,,gitu dong." Jawab mama dengan nada menggelitik.

0 komentar:

Posting Komentar